Sabtu, 01 Februari 2014

Sayap-Sayap Terbang




By: Asih Perwita Dewi

Di dunia ini, kita mengenal berbagai macam kisah cinta yang dialami oleh masing-masing manusia. Ada cinta yang berjalan mulus, mulai dari bertemu, saling pendekatan, jadian, kemudian menikah. Ada juga kisah cinta yang sedikit berbatu, mulai dari bertemu, saling pendekatan, jadian, bertengkar, putus, pacaran dengan orang lain, putus lagi, kembali mengontak mantan pacar, dan ketika tahu mantan pacar juga sedang sendiri, langsung diajak kembali berpacaran lagi. Tapi ada juga kisah cinta yang tersimpan erat hanya oleh satu pihak saja. Kisah cinta yang terlalu sulit untuk diungkapkan hanya karena pihak yang mencinta itu terlalu takut untuk mengatakan kepada pihak yang dicinta, sehingga pihak yang mencinta rela jika akhirnya kisah cintanya berakhir dalam sebuah catatan kecil didalam hati saja. Berdosakah cinta yang seperti itu? Atau bodohkah orang yang mencintai seperti itu? Tidak… tidak semuanya berdosa, dan tidak juga mereka yang mencinta dengan cara seperti itu adalah bodoh. Mereka hanya menjaga satu-satunya cinta terindah yang pernah mereka miliki, karena takut untuk kehilangannya.
            Cinta seperti itu memang menyakitkan, tapi mungkin akan menjadi satu cerita yang mengharukan ketika kelak dituturkan kembali kepada anak cucu. Bagaimana bangganya kita ketika bercerita dengan kalimat pembuka, “Dulu, waktu zaman nenek masih kuliah, nenek pernah menyukai seseorang.” Dari situlah cerita berlanjut, mengalir kembali seolah semua masih terbayang dimata. Tidak akan ada lagi yang menyalahkan, dan tak ada lagi kekhawatiran cinta itu akan hilang, karena sejatinya cinta itu telah melebur dalam setiap butir darah yang mengalir dalam nadi. Maka jangan pernah takut untuk mengalami cinta sepihak, karena cinta sepihak itu lebih tulus dan berharga dari cinta yang lain.
            Ya, memang benar saat ini aku kembali memikirkan tentang cinta sepihak itu. Ketika waktuku tinggal empat puluh lima menit lagi sebelum meninggalkan kota ini selamanya, aku kembali terkenang akan kisah cinta sepihak yang sedang kualami saat ini. Aku kembali teringat tentang dia, seorang lelaki bernama Kalindra.
            “Selamat ya,” ujar seseorang ketika aku sedang mengobrol dengan beberapa teman yang kujumpai di lomba membaca puisi antar mahasiswa se-kota Pontianak kala itu. Ketika aku menoleh ke arah suara yang menegurku, tampak olehku seorang lelaki dengan kostum kulit kayu dan topi anyaman yang berhiaskan dua lembar daun tumbuhan Juang sedang mengulurkan tangannya ke arahku. Oh… aku ingat lelaki ini. Dia adalah juara ketiga lomba membaca puisi ini. Lelaki itu tersenyum padaku, menampilkan sepasang lesung pipi yang tampak serasi dengan garis wajahnya yang kokoh.
            “Terima kasih,” ujarku sambil menyambut jabatan tangannya. Untuk beberapa detik tangan kami terpaut sebelum akhirnya lepas kembali. “Tapi penampilan kamu juga bagus tadi,” sambungku lagi seraya memuji dengan tulus. Penampilannya memang sangat keren. Begitu ia tampil membawakan puisi, aura di ruangan ini berubah hening dan seluruh penonton seperti terhipnotis oleh penampilannya. Seorang pembaca puisi dengan bakat yang seperti itu memang fenomenal, dan sudah bisa dipastikan dia sudah cukup paham dengan seluk beluk dunia puisi.
            “Makasih. Oh iya kak, kakak kenal saya? Saya Kalindra, adik tingkat kakak di kampus,” ucapnya lagi. Aku memandangi wajahnya sesaat, dan akhirnya aku pun ingat bahwa dia memang adik tingkatku yang masih terhitung sebagai mahasiswa baru, angkatan 2009, sedangkan aku angkatan 2007.
            “Oooh…iya saya ingat. Nama kamu Kalindra ya? Kalau nama saya…_”
            “Nama kakak Yurika!” sambarnya cepat. Aku tertegun, lalu kemudian tertawa kecil. Ingin kutanyakan “bagaimana dia tahu namaku”, tapi kuurungkan karena tentu saja dia tahu setelah mendengar pengumuman pemenang lomba puisi tadi yang menyebutkan namaku sebagai juara pertama.
            “Yup, anda benar,” kataku kemudian.
            “Kakak sering ikut lomba ya? Keren banget tadi ekspresinya kak. Boleh dong aku belajar dari kakak,” katanya, dan lagi-lagi sepasang lesung pipi itu menyembul ketika ia tersenyum.
            “Biasa saja, Kal… Tidak terlalu bagus kok,” jawabku merendah padanya. Tanganku bergerak membenarkan helaian poni yang menjuntai menutupi keningku.
            “Nggak kak, itu tadi serius bagus. Kalau begitu, aku minta nomor telpon kakak dong. Jadi kalau ada info lomba lagi atau ada keperluan yang lain, aku bisa menghubungi kakak. Dan kalau kakak butuh bantuanku juga kakak bisa menghubungiku. Boleh kan kak?” tanyanya seraya mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya. Aku mengangguk dan membacakan sederet nomor. Tak lama ponselku sendiri bergetar, dan sebuah nomor tak dikenal muncul di layarnya.
            “Itu nomorku, kak. Disimpan ya,” katanya lagi.
            “Diberitahukan kepada seluruh penumpang pesawat Lion Air dengan kode penerbangan B2189, pesawat akan berangkat pada pukul 07.15. Terima kasih,” suara petugas maskapai penerbangan yang akan membawaku pergi memberitahukan jadwal keberangkatan. Untuk kesekian kalinya ibuku menanyakan apakah masih ada barang-barang yang tertinggal, dan untuk kesekian kalinya juga aku jawab dengan pasti: “Tidak”. Adikku berkali-kali menggodaku karena tempat tinggal baruku nanti akan sangat sesuai denganku. Sebuah kota yang terletak di kaki gunung dan terkenal dengan suhu dinginnya yang memuncak ketika malam tiba.
            “Pasti nanti mbak makin malas bangun paginya tuh. Hati-hati kesiangan lho mbak, ‘kan nggak lucu saja kalau nanti ditanya dengan murid-muridnya terus mbak menjawab: ‘Maaf anak-anak, ibu ketiduran. Soalnya cuacanya dingin banget, benar-benar enak untuk tidur.’ Bisa-bisa jadi bahan tertawaan satu sekolah mbak. Hahaha…,” ledek Luna, adikku satu-satunya yang kini sudah menginjak kelas 3 SMA. Sementara itu, Paman Bayu dan Mas Satrio menonton pertandingan sepak bola yang disiarkan ulang di layar televisi bandara. Sekali lagi kuraih ponselku, dan seperti yang lalu-lalu aku hanya memandanginya tanpa melakukan apapun. 
            “Kak, coba dengar lagu Shayne Ward yang judulnya Breathless,” pintanya sambil menyodorkan sepasang headphone padaku. Aku pun menurut dan memasang headphone itu ke telingaku. Siang itu kami sedang menikmati makan siang di salah satu restoran siap saji favoritnya. Dari kaca jendela restoran, tampak titik-titik air sedang turun dengan derasnya untuk mendinginkan kota Khatulistiwa yang sudah kerontang karena seminggu ini terus menerus diterpa panas terik. Awalnya kami terjebak di restoran ini juga karena dari layanan pesan singkat semalam kami bercerita kalau dalam waktu dekat akan mengunjungi toko buku yang terletak di salah satu mall. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk pergi bersama pada hari ini. Ketika sudah akan pulang, kami melihat hujan baru saja turun disertai dengan petir dan kilat, sedangkan dia lupa membawa mantel karena beberapa hari ini memang tidak ada hujan. Akhirnya kami pun memutuskan untuk makan siang dahulu di restoran ini sambil menunggu hujan reda.
            Ini sudah terhitung kali kesekian kami keluar bersama. Meski tak sering, tapi selalu ada moment tak terduga yang tiba-tiba menyeret kami berdua. Bahkan lebih sering hal-hal yang sudah direncanakan malah tidak terlaksana. Aku tidak tahu pasti kapan kami mulai sedekat ini. Seperti ada sebuah benang persahabatan yang tak kasat mata diantara kami. Dan aku juga tak menyadari, kapan aku mulai menyayanginya lebih istimewa daripada adik-adik juniorku yang lain.
            “Yurika!” panggil sebuah suara padaku. Saat aku menoleh, tampak wajah Kikan dan Orion suaminya. Kikan adalah sahabatku sejak SMA. Dia sudah tahu aku akan berangkat hari ini, oleh karena itu dia menyempatkan diri mengantar keberangkatanku.
            “Hai, Kikan,” kataku sambil menyambut pelukannya. Ia menepuk-nepuk punggungku sesaat sebelum kemudian melepaskannya.
            “Benaran jadi berangkat, Ri? Aduuuh… aku bakalan kangen berat sama kamu. Kenapa sih harus ambil yang diujung Indonesia sana? Nggak ada tempat lain yang lebih dekat ya?” omel Kikan sambil tak lepas memandangiku. Matanya berkaca-kaca, aku tahu dia akan menangis. Ya, setelah sekian lama bersama akhirnya kami harus berpisah. Kali ini tak tanggung-tanggung, aku memilih pulau di ujung timur Indonesia yang menjadi tempatku mengabdikan diri sebagai seorang pendidik anak bangsa.
            “Kan supaya kamu punya tempat jalan-jalan, nggak cuma di Pontianak saja,” usikku seraya tersenyum kecil. Aku beralih memandang Orion. Lelaki berkacamata persegi itu juga teman sekelas kami waktu di SMA. Saat kuliah kami tak pernah lagi bertemu karena ia mendaftar kuliah perpajakan di Jakarta. Sedikit lucu juga ketika Kikan bercerita kalau Orion kembali mengontaknya lewat salah satu akun jejaring sosial yang sedang booming saat itu, hingga akhirnya mereka berpacaran dan sampai ke jenjang pernikahan.
            “Aku titip Kikan ya, Yon. Kalau dia bandel dijewer saja kupingnya, soalnya aku nggak ada lagi disini buat marahin dia,” kataku seraya melirik kearah Kikan. Perempuan itu membalas mencubit perutku.
            “Eh, tapi… kenapa Kalindra nggak ada, Ri? Kamu sudah bilang padanya ‘kan?” tanya Kikan seraya matanya mencari sosok Kalindra diantara pengunjung di bandara itu. Sesaat kemudian kedua mata Kikan kembali menatapku, dan melemparkan pandangan bertanya, “Kenapa?”
            “Ri, berita ini nggak benar ‘kan?” tanya Deri serius. Pandanganku yang sedang fokus mewarnai gambar preparat usus mamalia tak beralih dari buku praktikumku sendiri.
            “Apaan sih, Der? Berita apa?” tanyaku asal. Kuhela nafas pelan ketika lapisan tunika muskularis telah selesai kuwarnai dengan warna merah tua kecokelatan.
            “Lihat ini sebentar,” ujarnya seraya meraih bahuku untuk menghadapnya. Pandanganku langsung tertumbuk pada layar ponsel touchscreen-nya yang memampangkan sebuah akun jejaring sosial dan sebuah foto… ah bukan, itu bukan foto. Itu sebuah potongan gambar dari akun jejaring sosial yang lain, semacam model chatting antar sesama pengguna ponsel sejenis. Aku mebaca pemilik akun itu, Kalindra. Lalu kubaca tulisan dibawahnya, “We will keep our promise. You are my love and my future. LOL J #hidupLDR”.
            Kuturunkan perlahan tangan Deri, dan aku kembali berkonsentrasi pada gambar preparatku. Sementara Deri tak lagi berkata apa-apa. Ya, aku pun tak akan bisa menjelaskan apa-apa. Jelas yang dimaksud Kalindra dalam pesan itu bukan aku. Kami sama-sama berada dalam satu kota, jadi tidak mungkin menjalani LDR atau Long Distance Realtionship. Kalindra, sudah memiliki seorang kekasih.
Ternyata selama ini antara aku dan dia bukanlah cinta. Meski saat kudengar kabar itu, hatiku terasa sakit. Meski ketika ia tak lagi sering menghubungiku, aku kesepian. Meski ketika tak ada lagi jemputan tiba-tiba yang mengajakku untuk sekedar makan bersama atau menonton ke bioskop, aku kehilangan. Meski akhirnya kusadari, aku telah mencintainya… sendiri.
“Yurika, sudah saatnya kamu check in. Tiga puluh menit lagi pesawat kamu berangkat,” tegur Paman Bayu mengingatkanku. Aku pun mengemasi koper dan menyandang kembali ranselku. Setelah sekali lagi bersalaman dengan ibu dan adikku, Paman Bayu dan Mas Satrio, Kikan dan Orion, aku pun masuk ke dalam ruangan.
Kubiarkan tubuhku melewati mesin pemindai, dan kuletakkan juga handphoneku untuk diperiksa. Setelah mengantarkan koperku ke lobi bagasi, aku melangkah menuju ruang tunggu. Kembali kuraih ponselku, dan aku jadi kaget ketika tiba-tiba nama itu muncul dilayar ponselku. Kalindra menelponku.
“Halo,” sapaku pelan.
“Kakak, kakak dimana sekarang? Apa benar kakak akan berangkat ke Papua pagi ini juga? Kakak masih di bandara ‘kan? Aku sedang dalam perjalanan kesana. Tunggu aku ya kak, sebentar lagi aku sampai!” sambar Kalindra tanpa menyisakan jeda untukku menyahut kata-katanya. Aku menelan ludahku yang terasa pahit. Lidahku kelu dan lututku terasa lemas. Aku bersandar di dinding sebelum kembali melangkah. Ya, inilah saatnya. Tak akan ada lagi pertemuan denganmu, Kalindra. Aku harus menyelesaikan semuanya sampai disini.
“Kalindra, kakak sudah masuk ke ruang tunggu. Kamu tidak akan sempat bertemu kakak,” kataku memulai pembicaraan. Kuatur nafasku setenang mungkin untuk mulai menjelaskan padanya.
“Kalindra, kakak hanya ingin mengucapkan terima kasih karena selama ini kamu sudah jadi teman yang baik untuk kakak. Kakak sudah menyayangimu seperti adik kakak sendiri, kamu segalanya untuk kakak. Kamu selalu menolong kakak ketika kakak sedang repot, selalu menghibur kakak disaat kakak sedih, selalu mendengarkan cerita-cerita kakak dan membantu memberi solusi untuk kakak. Kakak juga tidak yakin, apakah kakak bisa menemukan seorang adik yang lain disana nanti yang sama seperti kamu. You are my dearest little brother, Kal…,” tuturku lagi. Saat itu kurasakan sebutir air mata bergulir hangat di pipiku. Sementara di seberang telpon Kalindra tak mengatakan apapun. Entah dia sedang mendengarkanku atau tidak, aku tak lagi perduli. Aku hanya ingin mengatakan padanya, walaupun semuanya sudah jadi terlambat saat ini.
“Kakak akan selalu ingat semua kesenanganmu, dan semua hal yang sudah kita lalui bersama. Lagu-lagu yang kamu perkenalkan ke kakak, film-film yang pernah kita tonton bersama, juga restoran siap saji favoritmu itu… semoga saja disana ada, supaya kakak bisa terus ingat padamu walaupun kita sudah terpisah jauh, Kal. Dan juga puisi-puisi buatanmu dan buatan kita bersama, sudah kakak kumpulkan menjadi sebuah buku. Seandainya kamu tahu Kal, setiap waktu yang kita lalui bersama adalah waktu terindah dalam hidup kakak,” pandanganku mengabur. Entah sudah berapa banyak airmata yang mengalir keluar. Kutekan isak tangisku agar tak terdengar olehnya.
“Maaf jika kakak mengatakannya sekarang, dan maaf jika kata-kata kakak ini melukai perasaan dan kepercayaanmu untuk kakak… Kakak mencintai kamu, Kal. Hanya ini yang ingin kakak sampaikan sebelum kakak pergi. Setelah telpon ini terputus, lupakan saja apa yang sudah kakak katakan tadi. Kakak rela dengan perasaan kakak ini, karena yang lebih kakak inginkan hanya menjadi seorang teman dan seorang kakak untukmu,” akhirku sambil mengusap pipiku yang telah basah oleh air mata. Aku menunggu kata-kata yang akan diucapkan Kalindra. Marahkah dia? Atau dia akan membenciku?
“Aku juga mencintai kakak…,” kalimat pertama yang kudengar dari suaranya membuatku jatuh terduduk di lantai koridor ruangan itu. Nafasku terasa sesak, dan tak bisa lagi kubendung tangisku.
“Maaf aku tak punya keberanian untuk mengatakannya pada kakak, karena aku terlalu malu dan aku takut ditolak. Aku ragu untuk mengatakannya, aku takut dianggap lantang karena telah berani mencintai seorang senior seperti kakak. Tapi justru karena kebodohanku ini, aku malah telah melukai kakak… Setiap hari aku berdoa semoga kakak mengatakan bahwa kakak juga mencintaiku, tapi aku tak pernah menyangka kakak akan mengatakannya di hari perpisahan kita. Aku memang bodoh, kak… Maafkan aku…,” rintihnya yang kemudian kudengar sebuah jeritan kekesalannya. Akhirnya hanya lewat ponsel itu, kami menangis bersama, merasakan sakit karena cinta yang tak akan pernah lagi bersatu. Kini aku menyadari bagaimana sesungguhnya perasaan orang yang patah hati, perasaan ingin memutar kembali waktu dan mengulang semua kejadian untuk memperbaiki segala kesalahan agar kita tetap bisa bersama orang yang dicinta. Walaupun demikian, Tuhan tetap punya jawaban lain untuk setiap hal yang telah terjadi, karena setiap hal yang telah terjadi itu pastilah yang terbaik untuk kita menurut Tuhan.
“Perhatian kepada seluruh penumpang untuk memasang sabuk pengaman karena 10 menit lagi pesawat akan lepas landas. Terima kasih.”
            Pukul 07.15 WIB. Aku terbang meninggalkan kota Pontianak. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar