By: Asih Perwita Dewi
Di dunia ini, kita
mengenal berbagai macam kisah cinta yang dialami oleh masing-masing manusia.
Ada cinta yang berjalan mulus, mulai dari bertemu, saling pendekatan, jadian,
kemudian menikah. Ada juga kisah cinta yang sedikit berbatu, mulai dari
bertemu, saling pendekatan, jadian, bertengkar, putus, pacaran dengan orang
lain, putus lagi, kembali mengontak mantan pacar, dan ketika tahu mantan pacar
juga sedang sendiri, langsung diajak kembali berpacaran lagi. Tapi ada juga
kisah cinta yang tersimpan erat hanya oleh satu pihak saja. Kisah cinta yang
terlalu sulit untuk diungkapkan hanya karena pihak yang mencinta itu terlalu
takut untuk mengatakan kepada pihak yang dicinta, sehingga pihak yang mencinta
rela jika akhirnya kisah cintanya berakhir dalam sebuah catatan kecil didalam
hati saja. Berdosakah cinta yang seperti itu? Atau bodohkah orang yang
mencintai seperti itu? Tidak… tidak semuanya berdosa, dan tidak juga mereka
yang mencinta dengan cara seperti itu adalah bodoh. Mereka hanya menjaga
satu-satunya cinta terindah yang pernah mereka miliki, karena takut untuk
kehilangannya.
Cinta
seperti itu memang menyakitkan, tapi mungkin akan menjadi satu cerita yang
mengharukan ketika kelak dituturkan kembali kepada anak cucu. Bagaimana
bangganya kita ketika bercerita dengan kalimat pembuka, “Dulu, waktu zaman
nenek masih kuliah, nenek pernah menyukai seseorang.” Dari situlah cerita
berlanjut, mengalir kembali seolah semua masih terbayang dimata. Tidak akan ada
lagi yang menyalahkan, dan tak ada lagi kekhawatiran cinta itu akan hilang,
karena sejatinya cinta itu telah melebur dalam setiap butir darah yang mengalir
dalam nadi. Maka jangan pernah takut untuk mengalami cinta sepihak, karena
cinta sepihak itu lebih tulus dan berharga dari cinta yang lain.
Ya,
memang benar saat ini aku kembali memikirkan tentang cinta sepihak itu. Ketika
waktuku tinggal empat puluh lima menit lagi sebelum meninggalkan kota ini
selamanya, aku kembali terkenang akan kisah cinta sepihak yang sedang kualami
saat ini. Aku kembali teringat tentang dia, seorang lelaki bernama Kalindra.
“Selamat ya,” ujar seseorang ketika aku
sedang mengobrol dengan beberapa teman yang kujumpai di lomba membaca puisi
antar mahasiswa se-kota Pontianak kala itu. Ketika aku menoleh ke arah suara
yang menegurku, tampak olehku seorang lelaki dengan kostum kulit kayu dan topi
anyaman yang berhiaskan dua lembar daun tumbuhan Juang sedang mengulurkan
tangannya ke arahku. Oh… aku ingat lelaki ini. Dia adalah juara ketiga lomba
membaca puisi ini. Lelaki itu tersenyum padaku, menampilkan sepasang lesung
pipi yang tampak serasi dengan garis wajahnya yang kokoh.
“Terima kasih,” ujarku sambil
menyambut jabatan tangannya. Untuk beberapa detik tangan kami terpaut sebelum
akhirnya lepas kembali. “Tapi penampilan kamu juga bagus tadi,” sambungku lagi
seraya memuji dengan tulus. Penampilannya memang sangat keren. Begitu ia tampil
membawakan puisi, aura di ruangan ini berubah hening dan seluruh penonton
seperti terhipnotis oleh penampilannya. Seorang pembaca puisi dengan bakat yang
seperti itu memang fenomenal, dan sudah bisa dipastikan dia sudah cukup paham
dengan seluk beluk dunia puisi.
“Makasih. Oh iya kak, kakak kenal saya?
Saya Kalindra, adik tingkat kakak di kampus,” ucapnya lagi. Aku memandangi
wajahnya sesaat, dan akhirnya aku pun ingat bahwa dia memang adik tingkatku
yang masih terhitung sebagai mahasiswa baru, angkatan 2009, sedangkan aku
angkatan 2007.
“Oooh…iya saya ingat. Nama kamu
Kalindra ya? Kalau nama saya…_”
“Nama kakak Yurika!” sambarnya
cepat. Aku tertegun, lalu kemudian tertawa kecil. Ingin kutanyakan “bagaimana
dia tahu namaku”, tapi kuurungkan karena tentu saja dia tahu setelah mendengar
pengumuman pemenang lomba puisi tadi yang menyebutkan namaku sebagai juara
pertama.
“Yup, anda benar,” kataku kemudian.
“Kakak sering ikut lomba ya? Keren
banget tadi ekspresinya kak. Boleh dong aku belajar dari kakak,” katanya, dan
lagi-lagi sepasang lesung pipi itu menyembul ketika ia tersenyum.
“Biasa saja, Kal… Tidak terlalu
bagus kok,” jawabku merendah padanya. Tanganku bergerak membenarkan helaian
poni yang menjuntai menutupi keningku.
“Nggak kak, itu tadi serius bagus.
Kalau begitu, aku minta nomor telpon kakak dong. Jadi kalau ada info lomba lagi
atau ada keperluan yang lain, aku bisa menghubungi kakak. Dan kalau kakak butuh
bantuanku juga kakak bisa menghubungiku. Boleh kan kak?” tanyanya seraya
mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya. Aku mengangguk dan membacakan
sederet nomor. Tak lama ponselku sendiri bergetar, dan sebuah nomor tak dikenal
muncul di layarnya.
“Itu nomorku, kak. Disimpan ya,”
katanya lagi.
“Diberitahukan
kepada seluruh penumpang pesawat Lion Air dengan kode penerbangan B2189,
pesawat akan berangkat pada pukul 07.15. Terima kasih,” suara petugas maskapai
penerbangan yang akan membawaku pergi memberitahukan jadwal keberangkatan.
Untuk kesekian kalinya ibuku menanyakan apakah masih ada barang-barang yang
tertinggal, dan untuk kesekian kalinya juga aku jawab dengan pasti: “Tidak”.
Adikku berkali-kali menggodaku karena tempat tinggal baruku nanti akan sangat
sesuai denganku. Sebuah kota yang terletak di kaki gunung dan terkenal dengan
suhu dinginnya yang memuncak ketika malam tiba.
“Pasti
nanti mbak makin malas bangun paginya tuh. Hati-hati kesiangan lho mbak, ‘kan
nggak lucu saja kalau nanti ditanya dengan murid-muridnya terus mbak menjawab:
‘Maaf anak-anak, ibu ketiduran. Soalnya cuacanya dingin banget, benar-benar
enak untuk tidur.’ Bisa-bisa jadi bahan tertawaan satu sekolah mbak. Hahaha…,”
ledek Luna, adikku satu-satunya yang kini sudah menginjak kelas 3 SMA.
Sementara itu, Paman Bayu dan Mas Satrio menonton pertandingan sepak bola yang
disiarkan ulang di layar televisi bandara. Sekali lagi kuraih ponselku, dan
seperti yang lalu-lalu aku hanya memandanginya tanpa melakukan apapun.
“Kak, coba dengar lagu Shayne Ward yang
judulnya Breathless,” pintanya sambil menyodorkan sepasang headphone padaku.
Aku pun menurut dan memasang headphone itu ke telingaku. Siang itu kami sedang
menikmati makan siang di salah satu restoran siap saji favoritnya. Dari kaca
jendela restoran, tampak titik-titik air sedang turun dengan derasnya untuk
mendinginkan kota Khatulistiwa yang sudah kerontang karena seminggu ini terus
menerus diterpa panas terik. Awalnya kami terjebak di restoran ini juga karena
dari layanan pesan singkat semalam kami bercerita kalau dalam waktu dekat akan
mengunjungi toko buku yang terletak di salah satu mall. Hingga akhirnya kami
memutuskan untuk pergi bersama pada hari ini. Ketika sudah akan pulang, kami
melihat hujan baru saja turun disertai dengan petir dan kilat, sedangkan dia
lupa membawa mantel karena beberapa hari ini memang tidak ada hujan. Akhirnya
kami pun memutuskan untuk makan siang dahulu di restoran ini sambil menunggu
hujan reda.
Ini sudah terhitung kali kesekian
kami keluar bersama. Meski tak sering, tapi selalu ada moment tak terduga yang
tiba-tiba menyeret kami berdua. Bahkan lebih sering hal-hal yang sudah
direncanakan malah tidak terlaksana. Aku tidak tahu pasti kapan kami mulai
sedekat ini. Seperti ada sebuah benang persahabatan yang tak kasat mata
diantara kami. Dan aku juga tak menyadari, kapan aku mulai menyayanginya lebih
istimewa daripada adik-adik juniorku yang lain.
“Yurika!”
panggil sebuah suara padaku. Saat aku menoleh, tampak wajah Kikan dan Orion
suaminya. Kikan adalah sahabatku sejak SMA. Dia sudah tahu aku akan berangkat
hari ini, oleh karena itu dia menyempatkan diri mengantar keberangkatanku.
“Hai,
Kikan,” kataku sambil menyambut pelukannya. Ia menepuk-nepuk punggungku sesaat
sebelum kemudian melepaskannya.
“Benaran
jadi berangkat, Ri? Aduuuh… aku bakalan kangen berat sama kamu. Kenapa sih
harus ambil yang diujung Indonesia sana? Nggak ada tempat lain yang lebih dekat
ya?” omel Kikan sambil tak lepas memandangiku. Matanya berkaca-kaca, aku tahu
dia akan menangis. Ya, setelah sekian lama bersama akhirnya kami harus
berpisah. Kali ini tak tanggung-tanggung, aku memilih pulau di ujung timur
Indonesia yang menjadi tempatku mengabdikan diri sebagai seorang pendidik anak
bangsa.
“Kan
supaya kamu punya tempat jalan-jalan, nggak cuma di Pontianak saja,” usikku
seraya tersenyum kecil. Aku beralih memandang Orion. Lelaki berkacamata persegi
itu juga teman sekelas kami waktu di SMA. Saat kuliah kami tak pernah lagi
bertemu karena ia mendaftar kuliah perpajakan di Jakarta. Sedikit lucu juga
ketika Kikan bercerita kalau Orion kembali mengontaknya lewat salah satu akun
jejaring sosial yang sedang booming saat
itu, hingga akhirnya mereka berpacaran dan sampai ke jenjang pernikahan.
“Aku
titip Kikan ya, Yon. Kalau dia bandel dijewer saja kupingnya, soalnya aku nggak
ada lagi disini buat marahin dia,” kataku seraya melirik kearah Kikan.
Perempuan itu membalas mencubit perutku.
“Eh,
tapi… kenapa Kalindra nggak ada, Ri? Kamu sudah bilang padanya ‘kan?” tanya
Kikan seraya matanya mencari sosok Kalindra diantara pengunjung di bandara itu.
Sesaat kemudian kedua mata Kikan kembali menatapku, dan melemparkan pandangan
bertanya, “Kenapa?”
“Ri, berita ini nggak benar ‘kan?” tanya
Deri serius. Pandanganku yang sedang fokus mewarnai gambar preparat usus
mamalia tak beralih dari buku praktikumku sendiri.
“Apaan sih, Der? Berita apa?”
tanyaku asal. Kuhela nafas pelan ketika lapisan tunika muskularis telah selesai
kuwarnai dengan warna merah tua kecokelatan.
“Lihat ini sebentar,” ujarnya seraya
meraih bahuku untuk menghadapnya. Pandanganku langsung tertumbuk pada layar
ponsel touchscreen-nya
yang memampangkan sebuah akun jejaring
sosial dan sebuah foto… ah bukan, itu bukan foto. Itu sebuah potongan gambar
dari akun jejaring sosial yang lain, semacam model chatting antar sesama pengguna ponsel sejenis. Aku
mebaca pemilik akun itu, Kalindra. Lalu kubaca tulisan dibawahnya, “We will
keep our promise. You are my love and my future. LOL J
#hidupLDR”.
Kuturunkan perlahan tangan Deri, dan
aku kembali berkonsentrasi pada gambar preparatku. Sementara Deri tak lagi
berkata apa-apa. Ya, aku pun tak akan bisa menjelaskan apa-apa. Jelas yang
dimaksud Kalindra dalam pesan itu bukan aku. Kami sama-sama berada dalam satu
kota, jadi tidak mungkin menjalani LDR atau Long Distance Realtionship.
Kalindra, sudah memiliki seorang kekasih.
Ternyata
selama ini antara aku dan dia bukanlah cinta. Meski saat kudengar kabar itu,
hatiku terasa sakit. Meski ketika ia tak lagi sering menghubungiku, aku
kesepian. Meski ketika tak ada lagi jemputan tiba-tiba yang mengajakku untuk
sekedar makan bersama atau menonton ke bioskop, aku kehilangan. Meski akhirnya
kusadari, aku telah mencintainya… sendiri.
“Yurika, sudah saatnya
kamu check in. Tiga puluh menit lagi
pesawat kamu berangkat,” tegur Paman Bayu mengingatkanku. Aku pun mengemasi
koper dan menyandang kembali ranselku. Setelah sekali lagi bersalaman dengan
ibu dan adikku, Paman Bayu dan Mas Satrio, Kikan dan Orion, aku pun masuk ke
dalam ruangan.
Kubiarkan tubuhku
melewati mesin pemindai, dan kuletakkan juga handphoneku untuk diperiksa.
Setelah mengantarkan koperku ke lobi bagasi, aku melangkah menuju ruang tunggu.
Kembali kuraih ponselku, dan aku jadi kaget ketika tiba-tiba nama itu muncul
dilayar ponselku. Kalindra menelponku.
“Halo,” sapaku pelan.
“Kakak, kakak dimana
sekarang? Apa benar kakak akan berangkat ke Papua pagi ini juga? Kakak masih di
bandara ‘kan? Aku sedang dalam perjalanan kesana. Tunggu aku ya kak, sebentar
lagi aku sampai!” sambar Kalindra tanpa menyisakan jeda untukku menyahut
kata-katanya. Aku menelan ludahku yang terasa pahit. Lidahku kelu dan lututku
terasa lemas. Aku bersandar di dinding sebelum kembali melangkah. Ya, inilah saatnya. Tak akan ada lagi
pertemuan denganmu, Kalindra. Aku harus menyelesaikan semuanya sampai disini.
“Kalindra, kakak sudah
masuk ke ruang tunggu. Kamu tidak akan sempat bertemu kakak,” kataku memulai
pembicaraan. Kuatur nafasku setenang mungkin untuk mulai menjelaskan padanya.
“Kalindra, kakak hanya
ingin mengucapkan terima kasih karena selama ini kamu sudah jadi teman yang
baik untuk kakak. Kakak sudah menyayangimu seperti adik kakak sendiri, kamu
segalanya untuk kakak. Kamu selalu menolong kakak ketika kakak sedang repot,
selalu menghibur kakak disaat kakak sedih, selalu mendengarkan cerita-cerita
kakak dan membantu memberi solusi untuk kakak. Kakak juga tidak yakin, apakah
kakak bisa menemukan seorang adik yang lain disana nanti yang sama seperti
kamu. You are my dearest little brother,
Kal…,” tuturku lagi. Saat itu kurasakan sebutir air mata bergulir hangat di
pipiku. Sementara di seberang telpon Kalindra tak mengatakan apapun. Entah dia
sedang mendengarkanku atau tidak, aku tak lagi perduli. Aku hanya ingin
mengatakan padanya, walaupun semuanya sudah jadi terlambat saat ini.
“Kakak akan selalu
ingat semua kesenanganmu, dan semua hal yang sudah kita lalui bersama.
Lagu-lagu yang kamu perkenalkan ke kakak, film-film yang pernah kita tonton
bersama, juga restoran siap saji favoritmu itu… semoga saja disana ada, supaya
kakak bisa terus ingat padamu walaupun kita sudah terpisah jauh, Kal. Dan juga
puisi-puisi buatanmu dan buatan kita bersama, sudah kakak kumpulkan menjadi
sebuah buku. Seandainya kamu tahu Kal, setiap waktu yang kita lalui bersama
adalah waktu terindah dalam hidup kakak,” pandanganku mengabur. Entah sudah
berapa banyak airmata yang mengalir keluar. Kutekan isak tangisku agar tak
terdengar olehnya.
“Maaf jika kakak
mengatakannya sekarang, dan maaf jika kata-kata kakak ini melukai perasaan dan
kepercayaanmu untuk kakak… Kakak mencintai kamu, Kal. Hanya ini yang ingin
kakak sampaikan sebelum kakak pergi. Setelah telpon ini terputus, lupakan saja
apa yang sudah kakak katakan tadi. Kakak rela dengan perasaan kakak ini, karena
yang lebih kakak inginkan hanya menjadi seorang teman dan seorang kakak
untukmu,” akhirku sambil mengusap pipiku yang telah basah oleh air mata. Aku
menunggu kata-kata yang akan diucapkan Kalindra. Marahkah dia? Atau dia akan
membenciku?
“Aku juga mencintai
kakak…,” kalimat pertama yang kudengar dari suaranya membuatku jatuh terduduk
di lantai koridor ruangan itu. Nafasku terasa sesak, dan tak bisa lagi
kubendung tangisku.
“Maaf aku tak punya
keberanian untuk mengatakannya pada kakak, karena aku terlalu malu dan aku
takut ditolak. Aku ragu untuk mengatakannya, aku takut dianggap lantang karena
telah berani mencintai seorang senior seperti kakak. Tapi justru karena
kebodohanku ini, aku malah telah melukai kakak… Setiap hari aku berdoa semoga
kakak mengatakan bahwa kakak juga mencintaiku, tapi aku tak pernah menyangka
kakak akan mengatakannya di hari perpisahan kita. Aku memang bodoh, kak…
Maafkan aku…,” rintihnya yang kemudian kudengar sebuah jeritan kekesalannya.
Akhirnya hanya lewat ponsel itu, kami menangis bersama, merasakan sakit karena
cinta yang tak akan pernah lagi bersatu. Kini aku menyadari bagaimana
sesungguhnya perasaan orang yang patah hati, perasaan ingin memutar kembali waktu
dan mengulang semua kejadian untuk memperbaiki segala kesalahan agar kita tetap
bisa bersama orang yang dicinta. Walaupun demikian, Tuhan tetap punya jawaban
lain untuk setiap hal yang telah terjadi, karena setiap hal yang telah terjadi
itu pastilah yang terbaik untuk kita menurut Tuhan.
“Perhatian kepada
seluruh penumpang untuk memasang sabuk pengaman karena 10 menit lagi pesawat
akan lepas landas. Terima kasih.”
Pukul
07.15 WIB. Aku terbang meninggalkan kota Pontianak. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar