Di
sini, aku yang termuda. Usiaku baru 7 tahun dan aku seorang cancer. Aku beruntung dilahirkan Tuhan
menjadi jembatan dan baru dibangun setelah reformasi. Aku mewah. Tidak seperti
teman lamaku, atau lebih tepatnya seniorku itu, dirinya hanya seharga Rp 6,06
Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?
Sebagai
seorang cancer, aku penyayang yang
baik, karenanya siapa saja aku perbolehkan melewatiku. Aku tidak pilih kasih
seperti seniorku itu. Hanya untuk kendaraan pribadi dan angkutan umum. Sok eksklusif sekali menurutku. Belum
lagi, sewaktu pertama kali dia menjejakkan rangka betonnya di bumi
khatulistiwa, dia meminta tarif untuk setiap mereka yang lewat. Merasa ingin
dihargai? Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa
lihat sendiri, kan?
Aku
tahu segala tentang dia, bukan karena aku yang kepo ya. Banyak anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di
selangkangan jalanku. Dari merekalah aku mendengar semuanya, tentang seniorku
itu. Beragam hal yang mereka lakukan di sana. Ada yang sekedar nongkrong bersama temannya, ada yang
bercumbu dengan pacarnya, ada yang memancing ikan, ada juga yang duduk
melingkar sambil mencium benda-benda berbau tajam, mungkin lem. Ya, selangkangan
tengah kakiku yang membelah Sungai Kapuas itu memang tempat favorit mereka.
Semoga saja puake tidak sedang lapar
saat mereka ada di sana. Maaf-maaf saja, harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan
aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?
Tapi
sebenarnya, aku kasian dengan seniorku itu, usianya sudah 31 tahun. Beberapa
bagian tubuhnya ada yang berkarat, mungkin karena kurang dirawat. Belum lagi
kemarin, sebuah tongkang bauksit sempat menabraknya. Tulang kakinya bergeser
kurang lebih 10 cm, akibatnya dia sempat dikucilkan sementara. Ya, lagi-lagi
aku tahu dari mereka yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan
jalanku. Dan, karenanya sekarang beban punggungku semakin bertambah, kendaraan
roda empat semuanya dialihkan padaku, dia hanya kebagian kendaraan roda dua.
Tapi, tak apa lah, toh aku muda, pula kuat. Harganya Rp 6,06 Miliyar, sedangkan
aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?
*
Anak
muda itu terlalu banyak bicara, menghargakan diri dengan sejumlah uang. “Harganya
Rp 6,06 Miliyar, sedangkan aku Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?”
Satu
hal baik yang saya lihat darinya, selain banyak bicara, ia juga banyak
mendengar. Hanya saja sepertinya ia kurang membaca. Menurut saya, anak muda
yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalannya pasti memiliki gadget semua, namanya juga anak muda
zaman sekarang selalu ingin mengikuti perkembangan teknologi, ya, walaupun cuma
untuk sekedar jaga gengsi. Apa kalian seperti mereka? Andaikan benar memang dia
rajin membaca, pasti dia akan tahu bagaimana keadaan ekonomi pada masa orde
baru, pula dia akan tahu bagaimana pemimpin kalian membuat kebijakan pengaturan
lalu lintas untuk mengurangi dampak kemacetan bagi dirinya saat ini.
Mungkin
saja, anak muda yang seringkali menghabiskan waktu di selangkangan jalannya
memang tidak pernah berbicara tentang itu, dan mungkin memang tidak tahu.
Sehingga ia tidak pernah mendengar. Hey, tunggu sebentar, kalau tidak salah
tadi saya mendengar kalian membaca cerita darinya kalau saya “sok mengeksklusifkan diri”. Begini, jika
kalian bertemu dengannya nanti, tolong sampaikan padanya, jika dulu saya tidak
pernah meminta bayaran untuk setiap mereka yang lewat, ia tidak akan pernah
mendapat panggilan “jembatan tol”. Ya, tol itu jalan bebas hambatan dan
dikenakan tarif setiap kita melewatinya. Saya sempat merasakannya dulu, sebelum
pertengahan tahun 1990-an, setelah akhirnya kebijakan tol tersebut dicabut. Saya
merasa lebih nyaman dengan cukup menjadi jembatan tanpa tol, banyak orang bisa
lalu lalang tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang. Takdir saya untuk membantu,
benar-benar berlaku. Namun, lucunya sampai sekarang masih saja ada yang
memanggil saya jembatan tol. Itu hanya kenangan. Kenangan yang selalu saja
dimunculkan Tuhan, meski saya selalu berusaha untuk melupakan.
Kalau
tidak salah, saya juga mendengar kalian membaca doanya, puake yang semoga tidak sedang lapar. Saya bersyukur, ia masih tahu
tentang itu. Sebagai penghuni baru Sungai Kapuas sudah seharusnya ia
menghormati penghuni lama. Maksud saya, ya, puake
yang menjadi kepercayaan di sini, entah yang berwujud buaya, ular ataupun yang
lain. Hanya saja sayangnya sekarang seperti kalian yang lupa, seenaknya
mengabaikan budaya dan tradisi. Puake
lebih sering saya dengar sebagai bentuk caci maki, padahal sebenarnya ia adalah
penjaga sungai, penjaga alam dalam bentuk kearifan lokal. Ataukah perlu puake meminta korban terlebih dahulu
agar kalian menjadi sadar? Biar nanti saya sampaikan.
Tunggu
sebentar, jangan-jangan tongkang yang menabrak saya kemarin kerjaan puake itu, karena saya ditabrak dua
kali. Kata orang, hal yang kebetulan itu tidak mungkin terjadi dua kali. Jadi,
bagaimana dengan yang saya alami? Tapi siapa yang ingin puake itu sadarkan, kalian atau pemimpin kalian?
Sepertinya
saya sudah bercerita panjang lebar, semoga saja kalian menemukan luasnya. Kalau
kalian bertanya bagaimana bisa, ingatlah saya sudah 31 tahun di sini, melintang
mengangkangi Sungai Kapuas ini. Pembicaraan orang tua, remaja dan anak-anak
sudah sering saya dengar. Dari zaman Soeharto yang katanya bapak pembangunan,
sampai zaman SBY bapak pencitraan. Cerita para tetua, hingga jenakanya anak
muda Pontianak saya tahu betul. Beginilah saya, senior tua seharga Rp 6,06
Miliyar, sedangkan ia Rp 110 Miliyar. Kalian bisa lihat sendiri, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar